Monday, June 11, 2018

Si Pembawa Kabar

 Teruntuk : yang Jauhnya 529 km di barat sana. Yang sedang di Bandung, lebih tepatnya.


Sudah lama sekali sejak akhir tahun 2017, aku tak pernah menulis di lamanku ini. Mungkin kau tak butuh alasan mengapa aku selama ini hilang dari peredaran, tapi aku tetap punya alasan. Setidaknya untuk membagi denganmu tentang rentetan alasan-alasan basi.
Sebodo amat kau peduli atau tidak.

Jadi,
ku ucapkan, Hai, Halo.
Selamat kembali lagi ke peredaran. Banyak hal yang ingin ku ceritakan kali ini. Aku sudah banyak berjalan melalui tebing curam, mengarungi sungai yang berarus deras, dan menerjang angin yang membawaku terbang. Banyak hal yang selama ini terbangun dari hibernasinya untuk kembali pada kehidupannya masing-masing. Sekarang aku kembali dari peredaran. Aku ditarik kembali ke orbitku karena ada sebuah gravitasi dari sesuatu yang asing untuk diriku. Sedikit tentang yang asing itu akan ku tuangkan di sini. Di surat ini.

Surat kali ini, ku tujukan untuk dia yang pernah berdiri di puncak Gunung Semeru. Kakinya itu mungkin pernah menapaki bebatuan-bebatuan keras. Tangannya itu mungkin saja pernah robek-- terkena sayatan tanaman yang tak tahu namanya apa. Kulit wajahnya mungkin pernah terbakar karena terpapar mentari terlalu lama di Mahameru.

Aku tak mengenal laki-laki ini sebelumnya.
Tapi pertemuan kita di bulan Ramadhan tahun ini, membawaku pada sebuah obrolan yang tak mengenal kata habis.
Kau seperti pembawa kabar dari negeri di atas awan. Pembuka cakrawala yang punya caranya sendiri untuk membukakan duniamu kepada diriku yang masih di rundung gundah.
Entah apa rencana Tuhan yang akan diberikan kepada kita esok hari,
Apakah kau akan membagi kisah tentang petualanganmu di bawah awan cerah Ranu Kumbolo?
Apakah kelak kau akan menceritakan tentang angin nakal yang pernah menerpa rambutmu di Merapi?
Apakah kau akan memegangi tanganku saat kita bersama melangkah di jalur pendakian Prau?
Apakah akan ku lihat lagi matamu saat senja turun di kota tempat kita bertemu?

Tapi, kau jauh disana.
Entah di bawah langit yang berwarna apa kau berdiri sekarang. Kau pasti tahu, rindu adalah buah dari jarak. Jarak yang terbentang diantara kita saat ini membawaku pada sebuah kalimat yang pernah ku tulis beberapa pekan yang lalu :
"Mengapa ada jarak? Supaya kita bisa sama-sama belajar bagaimana caranya mengantarkan rindu."

Satu hal yang tak perlu kau tanyakan lagi tentang aku saat ini,
Aku rindu.
Rindu melihat matamu yang kontras dengan hidungmu saat kau menoleh ke belakang.
Menatapku sedikit karena kau sibuk dengan jalanan kota Solo.
Kemudian senja menepati janjinya saat itu juga -- Senja akan selalu indah bagi siapapun yang menyadarinya.

Si Pembawa Kabar datang dengan langkahnya yang tertatih,
Membawa kabar dari ketinggian beribu-ribu meter dari permukaan laut.
Masih ada 2 Senin yang harus ku tunggu sebelum kau kembali merantau di kota kecil ini.
Ku harap kau mampu merajut segala rindu untuk menyelimuti tubuhmu dari dinginnya kota Bandung.

Akan kutulis lagi surat tentangmu,
Tapi tak malam ini, mungkin malam lain.

Salam,
Megan. Yang selalu memutar lagu karya Banda Neira yang berjudul "Biru".

Thursday, December 7, 2017

Suatu Hari; Bersamamu

Teruntuk : Seseorang yang tak perlu ku beri tahu dimana aku, namun Ia tahu dimana aku berada.


Apa yang sedang kau lakukan?
Sudahkah kau makan pagi ini?

Halo, lama tak bersua di situs ini. Lama tak berkata-kata di surat-surat cinta yang kadang membahagiakan, atau mengharu biru. Banyak yang telah ku lalui selama kemarin aku berkelana dengan sekeping hati yang mulai kembali menyatu. Ditengah perjalananku itu, aku kembali bertemu dengannya.
Seseorang yang ku kira hanya sebatas cerita semusim.

Kita dipertemukan oleh rangkaian waktu yang telah ditakdirkan Tuhan. Seperti mimpi rasanya bila mengingat kembali sore hari itu.
Kita bertemu pertama kalinya pada akhir tahun 2016. Saling berjabat tangan satu sama lainnya, berkenalan dengan menyebut nama masing-masing. Aku sempat tak percaya kala itu. Hanya mengernyitkan dahi ketika mendengar namamu yang meluncur begitu saja dari bibirmu. Ah, itu dulu.
Setelah sore itu, aku tak pernah mengingatmu lagi. Hanya saja, aku mengerti bahwa ada orang yang memiliki nama seaneh itu. Aneh.
Setelah sore itu berlalu dengan sedemikian singkatnya,
Aku tak pernah mengingatmu lagi.
Apalagi mencarimu.
Tak pernah. Sekalipun.

Namun, sekarang sudah berbeda, bukan?
Kini, kita sama-sama sudah dewasa. Dengan status baru, yakni seorang mahasiswa, yang berkutat dengan sedemikian materi. Dan kita berada di jurusan yang berbeda.
Ada suatu hari dimana aku benar-benar tak mengingatmu lagi. Aku pernah mempelajarinya di kelas pagi pada semester lalu tentang ingatan manusia. Kurasa, sepertinya kau berada di memori jangka panjang. Begitu sulit dipanggil.
Selain itu, lama tak pernah ku dengar kabar tentang keberadaanmu. Yang ku tahu tentangmu adalah satu hal-- kau memiliki nama yang aneh. Teramat aneh.
Hingga suatu malam di bulan Oktober tahun ini,
kita dipertemukan kembali.
Tuhan Maha Baik, ya?

Keadaan sudah membuatmu berbeda sekarang. Waktu yang selalu berjalan jauh meninggalkan kita, akan selalu memberikan perubahan. Bagi sebagian orang menganggap hidup harus selalu berproses; mungkin kau juga berpikir seperti itu.
Aku menatapmu diam-diam.
Rambutmu yang dulu masih terbilang rapi, sekarang terganti dengan rambutmu yang kau biarkan memanjang.
Kaus hitam dan celana pendek melekat ditubuhmu yang tidak terlalu besar, namun kurasa sanggup melindungi orang yang kau cintai di rengkuhan pelukmu.
Lengkap dengan sebatang rokok terselip di bibirmu. Hembusan nafasmu disertai kepulan asap putih yang mengudara di sekelilingmu, membuatku teringat kau yang dulunya bisa dibilang culun, kini menjelma menjadi laki-laki yang-- sedikit menarik. Aku tak ingin sepenuhnya mengatakan kau menarik, karena kau tetap menjadi orang yang memiliki nama teraneh bagiku. Kau tetap teraneh!

 Malam itu kau berbincang denganku. Kau selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang aku yang kini juga sudah berada di bangku perkuliahan. Begitu pula aku. Tak henti-hentinya aku menanyakan tentang kesukaanmu pada sesuatu dan yah, lagi-lagi aku menilai kau adalah laki-laki yang-- agak menarik.
Malam itu kau duduk di depanku seperti penyejuk, walaupun malam saat itu terbilang cukup berangin, tapi sama saja. Aku lebih memilih kau sebagai penyejuk.
Malam itu waktu terasa singkat hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Waktu sudah berpukul 11. Saatnya pulang.
Sekali lagi aku menatapmu.
Berpikir apakah setelah ini kau dan aku akan terbentang jarak yang sangat-sangat jauh lagi?
Tak ada yang suka jarak, kecuali dia menyukai sebuah penantian. Penantian untuk bertemu kembali.
Tapi sayangnya, aku bukanlah orang itu.

Malam itu,
Aku mengakhiri pertemuan kita dengan berjabat tangan lagi.
Sama seperti saat kita bertemu pertama kalinya.

Monday, February 13, 2017

Untuk Senja dengan Temaramnya

Hari ke Enam. Surat ke Lima.

Buat : Senja dan Cahaya Temaramnya.

Hai, Senja. Apakah pagimu tadi baik-baik saja? Menjadi sebuah ironi ketika aku hanya mencintaimu tanpa mencintai sang pagi. Aku mencintai pagi layaknya aku mencintaimu, senja. Terlebih saat pagiku dipenuhi aroma susu dengan cita rasa vanilla yang tanpa permisi melewati hidungku dan kemudian memberiku sebuah rangsangan untuk segera bangun dari lelapku. Aku selalu suka dengan rasa hangat dari secangkir susu kesukaanku melewati kerongkonganku. Memberi sebuah perantara akan rasa cinta yang dituangkan jemari gemulai ibu ke tetesan-tetesan susu vanilla untuk anaknya. Itu sedikit kenanganku untuk pagi, senja.
Jangan biarkan ranting iri memenuhi cabangmu, senja.

Kau datang saat mentari bergegas menuju peraduan bersama rasa lelah menggelayuti cahayanya. Yang cahayanya dibuat berubah menjadi sedikit kemerahan. Yang aku sering memanggilnya dengan Temaram. Di kala kau (baca: senja) datang kembali ketika sang pagi telah berpulang, kau mengingatkanku pada sebuah perpisahan. Perpisahanku dengan sang pagi beserta cahaya benderang dari mentari. Seakan-akan cahaya benderangnya ditelan dengan cahaya temarammu.

Kau pasti tahu disudut mana aku suka menatapi langit temarammu, senja. Dari depan pintu rumahku yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman kesayangan ibu. Dari sudut itu aku suka meneliti pergerakan awan yang saling berkejaran dengan cahaya mentari sore.
Hei, lihat! Awan mendung itu mengganggu kecantikan yang dibuat oleh temaram, senja!
Selalu timbul dibenakku, mengapa hujan suka sekali turun saat kau mulai beranjak datang? Akhir-akhir ini, kotaku sering kedatangan hujan saat kau mulai datang. Mengapa gerangan?

Apa kau mulai mencintai hujan, senja? Ku pikir kau salah untuk jatuh cinta dengan hujan.
Pernahkah terlintas dipikiranmu akan nasib orang-orang yang hendak berpulang ke rumahnya? Rasa lelah telah memenuhi diri mereka. Mereka ingin segera melepas penat setelah seharian menguras tenaga yang telah disimpan baik-baik disaku mereka. Mengertilah, senja. Aku ingin kau tahu bahwa kadang mencintai seseorang dapat memberi luka bagi orang lain. Hidup ini serba kontras. Ada yang merasa bahagia atas pertemuanmu dengan hujan, ada pula yang bersedih hati atas turunnya hujan bersamaan dengan datangnya dirimu. Sejujurnya, aku suka hujan. Tapi tak selalu. Kadang hujan dapat menorehkan pupus yang tak berujung bagi orang yang sudah memiliki rencana. Mereka adalah orang yang menjadikan hujan sebagai alasan mengapa gagal. Ku harap kau mengerti bahwa kau telah mencintai sesuatu yang salah. Bukannya salah, tapi tak sejalan dengan hati yang mencintai temaram.

Cinta tak pernah salah menilai temaram. Hanya saja, kadang temaram harus mengalah dengan awan mendung yang menjadi pertanda akan turun hujan. Haruskan temaram selalu mengalah? Mungkin untuk cuaca yang tak menentu seperti sekarang ini, temaram harus menurunkan egonya. Untuk memanjakan mata manusia. Cinta kadang tidak tepat tempat, tapi cinta akan membawakan tujuan yang tepat bagi yang tulus meyakininya. Ketahuilah, senja, cinta tak pernah salah arah.

Lalu bagaimana, senja? Kau akan tetap mencintai hujan?

Salam untuk senja, beserta dengan temaramnya yang patut dirindukan.
Megan.

Sunday, February 12, 2017

Menyapa Luka Lama

Hari ke Lima. Surat ke Empat.

Teruntuk : Laki-laki yang (dulu) kucintai. Sangat ku cintai.

Akhirnya kau kembali dari ekpedisimu. Kau kembali saat aku telah membereskan kenangan kita yang memenuhi sudut ruang hatiku. Butuh waktu yang lama untuk membereskan segala kenangan yang tertinggal di sudut-sudut hatiku. Sudah berapa banyak langkah yang kau tempuh diluar sana? Apa kau merasa lelah? Sadarlah, bahwa langkahmu sudah begitu jauh, namun akhirnya kau pulang ke rumah lamamu-- aku. Aku yang pernah kau tinggalkan dulu, kini menjadi tujuanmu untuk berpulang lagi. Haruskah aku bahagia atas kembalimu?

Sudah berapa banyak mimpi yang datang ke lelapmu? Lama tak ku dengar tentang cerita-cerita menegangkan dari mimpimu. Mimpimu juga mimpiku.
Sudah berapa banyak hujan yang kau lalui? Lama aku tak menghangatkanmu dengan secangkir teh dengan cinta disetiap cita rasa teh manis buatanku.
Sudah berapa ratus hari yang kita lewatkan tanpa bertukar kabar? Ku harap kau bahagia untuk hari kemarin. Hari yang kau lalui tanpa aku. Aku tak ingin mendengar kabar bahagiamu, aku hanya ingin kau ada. Tetap ada. Bersama impianmu yang menggelora diantara air hujan yang turun. Impianmu harus tetap terang walaupun diterjang air hujan sekalipun.
Sudah banyak kesunyian yang kita lewati hanya dengan bergeming. Berpacu dengan nyanyian rintik hujan yang selalu menemani hari kita berdua.

Sejujurnya, aku pernah merindu atas parasmu yang indah. Merindu atas keberadaanmu. Merindu mengusapkan jemariku ke jemarimu yang terlampaui besar dari jemariku. Aku yang tadinya tak biasa sendirian, kini aku berteman baik dengan kesepian. Kesepian sudah biasa bagiku. Kau yang mengenalkanku kepada segalanya tentang kesendirian, kesepian dan yang tak pernah ku sangka-- sebuah perkenalan dengan orang yang baru. Kau tahu aku 'kan? Aku adalah orang yang sulit untuk membuka hati untuk penghuni yang baru. Kau pikir mudah untuk melupakanmu?
Melupakanmu adalah hal yang tak pernah terlintas dibenakku. Melupakanmu adalah mimpi buruk-- bagiku.

Ku yakin kau tak melupakanku. Jelas terbukti bahwa kau tetap bisa menemukan jalan pulang untuk menemukanku. Kau harus tahu, ada banyak nama yang ku sisihkan hanya untuk mengingatmu. Aku sadar. Aku tak punya arti penting dalam hidupmu, tapi aku bersedia menjadi obat untuk laramu. Menjadi lantunan nina-bobok untuk menghantarkanmu menuju tidurmu. Lalu bagaimana dengan kesalahanmu yang fatal? Haruskah aku memaafkanmu?
Memaafkanmu adalah anugerah.
Tetapi bukan berarti aku menerimamu kembali.
Aku sudah memaafkanmu.
Memaafkan setiap sorot keindahan yang dipancarkan dari sepasang mata teduhmu. Matamu tetap yang paling meneduhkan. Percayalah.

Tapi sulit untuk melupakan betapa dalamnya kau menancapkan luka dihatiku, hingga aku lupa menjadi Megan yang penakut. Kini aku sudah berbeda. Begitu juga dengan kehidupanku.

Kau merubah cara pandangku tentang cinta. Merubah cara pandangku tentang mu. Terima kasih karena telah mematahkan segala pertanyaanku tentang kelanjutan cinta yang manis. Sebenarnya surat ini ku tulis bukan untuk menyampaikan perubahanku selama kau berkelana diluar sana, aku ingin menyapamu saja di surat kali ini.
Hai, masa lalu!

(Bahkan untuk menyapamu saja, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk berpikir-- enaknya nyapa dia nggak ya?, tarikan napas yang panjang dan secuil keberanian yang tersisa untuk menatap matamu.)

Salam,
Megan. Yang dulu pernah menganggapmu adalah segalanya.

Saturday, February 11, 2017

Surat untuk yang Saling Menguatkan

Hari ke Empat. Surat ke Tiga.

Maaf, aku tidak menulis surat kemarin. Aku terguncang. Sedikit. Sekali lagi, maaf, ya.

Teruntuk : Tiga remaja perempuan yang mampu menguatkanku

Hai Wiwik,
Hai Dina,
Hai Nafi,
Apa kabar, kalian semua? Aku senang kau membaca surat cintaku hari ini. Hari ini aku memutuskan menuliskan surat cinta untuk kalian bertiga. Yah, memang kalian adalah beberapa gadis yang ku temui di masa ketika sekolah menengah dimulai. Kau tahu? Pertemanan kita sudah terbilang cukup tua, 6 tahun terhitung sejak 2010. Untuk tahun ini, pertemanan kita masuk ke 7 tahun lamanya. Mari kita mengibaratkan pertemanan kita seperti halnya pertumbuhan seorang anak. Di umurnya yang menginjak 7 tahun, seorang anak sudah bisa duduk di bangku sekolah. Hey, selama itukah kita bersahabat?

Bagiku kata sahabat tak cukup mencerminkan bagaimana kita. Kita adalah mereka, orang yang layak disebut penjaga dua puluh lima jam. Karena dua puluh empat jam saja tak cukup. Banyak waktu yang telah kita telan bersama. Yang kemudian kenangannya ditumpuk pada suatu sudut tersendiri di memori masing-masing.
Dan kalian tahu tentangku, segalanya tentangku. Bahwa cinta membawakan kebahagiaan untukku. Bahwa sebuah pengkhianatan bisa meluluh-lantakkan hari-hari bahagiaku. Hidup kadang dipenuhi cerita yang mengharu biru.

Ingatkah kalian pada Juli tahun lalu? Disaat tawa bahagiaku lenyap karena sebuah cerita pengkhianatan yang dibawakan oleh orang yang tak ku sangka akan memberikan goresan tinta pahit di hari-hariku tahun kemarin. Kalian melihatnya. Menyaksikan semuanya. Kalian selalu ada disana. Untuk aku, orang yang diruntuhkan kepercayaannya. Kalian jugalah yang menjadi saksi hidup betapa bahagianya aku ketika melangkah diantara batang pohon-pohon pinus yang kokoh. Kalian pula yang menjadi penonton saat aku menangis sekuat tenagaku hingga kehabisan napas, saat aku berubah menjadi Megan yang mandiri. Aku mengingat segala kebersamaan kita kala itu. Setiap hari kalian menghiasi hari-hariku yang baru. Hariku tanpa ada sapaan pagi dan senja dari bibir manisnya. Kalian memang memberiku sesuatu yang tak dapat digantikan; sang waktu.

Kalian adalah mereka yang memiliki cerita cinta yang berbeda satu sama lain. Jangan samakan cerita cinta kita, sayang.
Wiwik dengan cerita cintanya yang dipenuhi gengsi. Lengkap dengan rasa kecurigaan, tanda tanya besar selalu memenuhi kepalamu, Wik.
Dina dengan cerita cintanya yang tidak pasti. Segala bentuk kesabaran dilakukannya untuk memperjuangkan cintanya.
Nafi yang akhirnya menemukan pelabuhannya setelah penantian selama masa SMA.
Kita punya cerita. Kita punya cinta yang berbeda. Mengertilah, sayang. Mengertilah. Aku juga punya ceritaku sendiri. Setiap cerita yang memiliki pemeran yang berbeda. Lalu, bagaimana dengan kelanjutan cerita cinta kalian? Bahagiakah? Atau malah sebaliknya?

Sudah cukup. Aku tak ingin mendengar cerita cinta yang konyol dari rentetan dongeng tentang cintamu, kawan. Tapi bagaimana? Haruskah aku menutup telinga akan ceritamu? Berpura-pura bahwa kalian baik-baik saja disaat kalian sesungguhnya sedang dilanda kepiluan? Aku bukan orang seperti itu! Sudah kucoba untuk berhenti mendengar segala keluh kesahmu. Tapi hati ini seakan tak ingin berpaling. Telingaku seakan tak ingin berhenti mencari-cari suaramu. Aku tak bisa menjauh dari kalian, sayang. Kalianlah orang pertama yang ku cari saat aku kehabisan daya untuk menghadapi dongeng senduku. Siapkah kalian untuk menjadi mereka yang ku cari?

Ku harap jawabannya adalah 'iya'.

Lewat surat tak berharga ini, aku ingin menuangkan keinginanku untuk kalian.
Untuk Wiwik, pergilah. Masih banyak jalan yang harus kau lalui. Tataplah hari-hari di depan matamu yang siap kau jelajahi. Temukan cinta yang baru. Carilah cinta yang bisa membuat hatimu diperlakukan layaknya putri di negeri dongeng. Temukan cintamu.
Untuk Dina, menetaplah. Tak lelahkah kau mencari cinta yang sempurna? Kesempurnaan itu harus kau buat. Bukan kau temukan. Buatlah rumah yang permanen. Tak goyah. Tak usang. Tak mudah dihancurkan. Komitmenmu harus sekuat namamu.
Untuk Nafi, berjanjilah. Aku sering mendengar kebahagiaan yang telah kau ukir bersama cintamu yang baru. Berjanjilah untuk selalu pulang ke rumahmu. Rumah yang telah kau bangun bersamanya. Kau sudah menemukan jalan pulangmu.

Lalu bagaimana denganku? Kita harus berjuang bersama. Menguatkan. Bukan saling melengkapi. Aku suka kita saat kita saling menguatkan. Menguatkan bagiku lebih dari sekedar melengkapi. Karena menguatkan lebih bisa membangun kepercayaan yang mengendur karena adanya pengkhianatan.
Ketahuilah, aku tak bisa melangkah menjauh darimu, Wik, Din, Naf. Sampai jumpa.

Temukan cintamu, sekarang atau tidak sama sekali.

Salam Sendu,
Dari Megan, yang suka menyendiri dikedai minuman untuk sekedar menulis surat cinta.

Thursday, February 9, 2017

Sepucuk Rindu untuk yang Ada di Langit Ke Tujuh

Hari ke Dua. Surat ke Dua.

Buat Mama,
Bersama dengan senyumnya, tawanya, dan segala resep masakan yang ia kuasai diluar kepala.
Di Surga.

Hai, Ma.
Malaikat kedua setelah ibuku.
Perempuan tua dengan umurnya yang sudah setengah abad lebih.
Detak jantung keduaku.
Tak ada lagi cita rasa dari sayur asem khas buatan tanganmu sendiri.
Tak lagi ku dengar suaramu yang selalu menanyakan mengapa aku tak kunjung menelponmu.
Tak bisa ku lagi genggam tangan halusmu walaupun kau gemar sekali membersihkan rumah, mencuci pakaian dan mencoba resep yang baru saja kau baca dari majalah kesukaanmu.
Aku merindukanmu sekarang, Ma.
Tapi sekarang kau telah menempati rumah barumu, Ma.

Hatiku seketika hancur setelah aku mengetahui kabar dari Mbak Indah (Baca : sepupuku atau anak dari mama) bahwa kau telah terbaring lemah di ruang rawat intensif dengan segala ke-tidak-pastian. Tangis selalu pecah sewaktu koneksi telepon tersambung antara ibu dan sepupuku. Mataku mampu menangkap segala momen tangis yang menyedihkan itu, Ma. Ingin rasanya aku segera berlari menuju ke tempat mama sedang dirawat sekarang. Tapi ada tali belenggu yang mengikat kakiku saat itu sehingga membuatku tak sanggup berlari. Aku sedang disibukkan dengan bermacam-macam kegiatan penyambutan mahasiswa baru. Kemudian aku teringat bahwa beberapa waktu yang lalu kau sempat memintaku untuk pergi ke Bekasi. (Ya, memang mama bertempat tinggal di Bekasi, Jawa Barat.) Sayangnya, aku beralasan jika aku masih ada kegiatan-kegiatan yang harus ku ikuti.
Maafkan aku, Ma.

Apa kabar, Ma? Aku sangat merindukanmu.
Maafkan aku yang tak bisa mengulang momen-momen yang sangat membahagiakan. Momen dimana kita saling bercengkrama, dengan secangkir teh buatanmu dan beberapa pisang goreng yang masih mengepul hangat tersedia di meja kaca rumahmu. Bahkan saat aku menulis surat cinta ini, air mataku selalu menggenangi sudut mataku dan akhirnya jatuh tak terbendung. Aku tahu, kau pasti tak suka karena aku selalu menangis saat mengingatmu.
Tapi mau bagaimana lagi, Ma? Hanya itu yang bisa ku lakukan sekarang selain mendoakanmu.

Beberapa waktu setelah aku akhirnya menginjakkan kaki di tanah kelahiranku, di Bekasi, aku segera bergegas menuju rumah sakit. Tempat dimana kau memejamkan mata selamanya.
Ku lihat dirimu telah terbaring tanpa ada napasmu yang sangat kukenali suaranya.
Terpejam selamanya. Sangat tenang.
Kau tak pernah membuka matamu saat aku telah tiba disisimu. Seakan-akan kau tak tahu jika aku akhirnya berdiri disampingmu dan menggenggam tanganmu yang sedingin es.
Kini kau tertidur lelap. Tanpa rasa sakit. Tanpa beban. Dengan damai disekelilingmu.
Namun, yang mengiringi kepergianmu adalah tangis penyesalan. Penyesalan tiada ujung. Mengapa kita bertemu lagi disaat kau telah menutup matamu? Untuk selamanya.

Yang paling menyedihkan adalah ketika sudah tiba saatnya kau harus dibawa ke tempat tidur abadimu. Ke pusaramu. Dan berarti peti harus segera ditutup dan dipasang semacam paku agar tutup peti tak goyah saat nanti kau ditempatkan. Itu adalah saat terakhir aku melihat wajahmu, tanganmu dan matamu yang terpejam selamanya.
Apalagi saat melihatmu perlahan dimasukkan ke tempat tidurmu yang tenang tanpa ada gangguan lagi. Biasanya aku selalu mengganggu tidurmu, karena saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kaki dan tanganku tak bisa diam. Selalu menendangi dan memukulimu. Itu adalah saat terakhir melihatmu berada di permukaan tanah.
Sekarang kau terlelap damai di dua meter dari tempatku berdiri. Dua meter di bawah permukaan tanah.

Tidurlah dengan nyenyak, Ma. Aku tak akan mengusik tidurmu lagi.

Sekarang aku sudah jadi mahasiswa, Ma.
Belum sempat kau melihatku menjadi seorang mahasiswa,
Belum mendengar keluh kesah tentang banyaknya tugas yang menumpuk,
Belum menjadi orang yang pertama mendengar bahwa skripsiku selesai dan aku akan di wisuda dari perguruan tinggi,
Kau belum sempat mendengar kabar bahagia dariku, Ma.

Mama, aku hanya ingin kau tetap mendengar kabar baik dariku di rumah barumu, di surga. Di rumahmu yang ada di antara kumpulan awan ke tujuh.
Aku hanya ingin senyummu selalu mengembang di langit sana.
Aku ingin kau mengingat segalanya tentangku, tentang masa kecilku yang terkadang nakal ataupun tentang aku yang belajar untuk menjadi dewasa.
Kau selalu berada disini, disisiku, dilubuk hatiku yang sudah tersedia untuk menyimpan memori tentangmu.
Mengertilah, Ma. Aku sangat-sangatlah mencintaimu.
Bahagialah, Ma.
Tenanglah, Ma.

Megen akan membanggakanmu.

Salam cinta,
Megan. Keponakanmu yang paling susah makan.

P.S : Mama disini adalah panggilan kesayanganku untuk kakak dari ibuku.

Wednesday, February 8, 2017

Ku Harap Kau Baik-Baik Saja

Hari ke Satu. Surat ke Satu.

Buat : Laki-laki yang kini menghilang sejak Expo UKM.

Hai.
Apa kabarmu?
Masihkah kau mengingatku seperti aku mengingatmu?
Bagaimana perkuliahanmu? Menyenangkan bukan? 
Berapa IPK yang kau raih disemester pertama ini?
Ku harap kau baik-baik saja.

Di hari-hariku yang baru ini, terkadang dirimu beserta senyumanmu melintas tanpa permisi dipikiranku. Aku tak tahu siapa gerangan dirimu. Dari mana kau berasalpun aku tak pernah tahu. Lalu, bagaimana kau bisa mengenali aku saat itu? Kau begitu asing bagiku, tapi tidak untuk senyumanmu.
Hingga masa perkuliahan semester pertama ini habis, aku tak pernah bertemu denganmu lagi. Sama sekali aku tak pernah melihatmu. Tak tahukah kau betapa aku ini masih mencarimu mati-matian? Bukannya merindukanmu, setidaknya jika kita bertemu, aku dapat mengetahui jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan yang meletup-letup dipikiranku. Tentangmu. Tentang senyuman itu.
Sudah lama sekali sejak kita bertemu ditahun lalu. Kemudian setelah pertemuan terakhir kita dihari yang melelahkan itu, kau seakan-akan terlelap diduniamu. Mungkin bagimu, aku juga seperti itu. Menghilang layaknya gas yang melayang-layang di sekitarmu. Tapi ingatan tentang momen yang sangat cepat itu melekat dipikiranku. Sulit ku tangkas, tak bisa ku hindarkan ingatan tentang dirimu.

Ku coba mengingat bagaimana kita bertemu. Hujan. Sesak serta suara bising sepeda motor yang pengendaranya ingin bergegas pulang.
Kau ada disana. Mataku menangkap sosokmu yang tak terlalu jauh dari tempatku.
Kau ada bersama teman-temanmu. Disana. Dekat sekali dengan tempatku berdiri. Lagi-lagi kau tersenyum kepadaku. Seakan-akan kau mengenalku. Akhirnya aku membalas senyumanmu. Aku mencoba mengingatmu lagi. Siapa dirimu sebenarnya? Mengapa aku merasa pernah mengenalmu?
Ah! Dasar pelupa.

Dirimu itu semu.
Aku sadar bahwa dirimu itu tak pantas untuk ku ingat, tapi pantas untuk ku cari.
Aku mengerti bahwa pertemuan kita yang tak sampai hitungan menit itu memang sebuah pertemuan yang tak pantas dijadikan sebuah kenangan.
Bagiku kenangan tak hanya persoalan waktu, namun bagaimana bekas yang ditorehkan oleh kenangan itu sendiri.

Semoga kau dan aku bisa bertemu di titik koordinat yang sama. Menatap dari jarak yang dekat. Bertukar senyum hingga pipi menjadi merah merona.
Pantaskah kini aku menulis surat cintaku untukmu?
Diantara kau dan aku, terbentang sebuah jarak yang buta. Yang tak tahu menahu kemana ujungnya pergi. Aku buta arah untuk mencarimu.
Ingat, Ingatlah aku.
Ku harap kau baik-baik saja. Bagaimanapun keadaanmu sekarang, aku akan tetap mencarimu.

Aku menunggu kesempatan untuk dapat menulis surat cinta kepada siapapun. Akhirnya, kini aku memiliki kesempatan untuk menulis surat cinta. Satu surat cintaku ini kutujukan padamu. Semoga kau membacanya. Semoga.

Sampai Jumpa lagi, laki-laki yang waktu itu memakai kemeja biru.

Dari Megan,
Yang waktu itu memakai rok kotak-kotak, berkerudung cream lengkap dengan jas almamater.
Yang waktu itu mengendarai sepeda motor hitam.